Bagi yang suka nonton/baca komik kuroshitsuji (black butler) pasti pernah denger cerpen ini walaupun cuma dari percakapannya Ciel. Yups cerpen ini memberikan pengaruh besar dalam komik tersebut. Bisa dikatakan kalau cerpen ini yang melatarbelakangi komik kuroshitsuji tersebut. Nah bagi yang belum pernah baca cerpen aslinya dan masih penasaran, ini dia. Selamat membaca :)
Penulis : Ryūnosuke Akutagawa (芥川 龍之介)
Lahir : Tokyo, 1 Maret 1892
Meninggal : Tokyo, 24 Juli 1927 pada umur 35 tahun
Merupakan penulis novel pendek dan cerpen. Pada tahun 1935, Kan Kikuchi mengabadikan namanya untuk hadiah sastra Penghargaan Akutagawa.
karya lain : Imogayu, Yabu no Naka (Dalam Belukar ), Jigokuhen, dan Haguruma, Rōnen ,Rashōmon, Hana , Imogayu , Tabako to Akuma , Gesakuzanmai, Jigokuhen , Jashūmon , Majutsu , Mikan , Nankin no Kirisuto ,Butōkai , Aki , Toshishun , Aguni no Kami, Yabu no Naka , Torokko , Uogashi , Hina , Sōseki Sambō no Fuyu , Hitokure no Tsuchi , Ababababa , Daidōji Shinsuke no Hansei , Genkakusambō , Shuju no Kotoba.
Kumo no Ito
Pada suatu hari Sang Budha tengah berjalan-jalan sendirian di tepi kolam teratai di taman surga. Bunga-bunga teratai bermekaran di kolam itu, berwarna putih bagaikan mutiara dengan putik-putik bunga keemasan dan benang-benang sari di tengah-tengahnya yang menebarkan aroma wangi memenuhi udara.Saat itu hari masih pagi di surga. Sejenak Sang Budha berdiri di tepi kolam, melalui celah terbuka di antara dedaunan yang menutupi permukaan air tiba-tiba terpampang di hadapannya sebuah pemandangan menakjubkan.
Karena neraka terhampar di bawah kolam teratai surga, sungai bercabang tiga yang menuju kegelapan abadi dan puncak Gunung Jarum dapat terlihat melalui kristal permukaan air kolam, bagaikan sebuah teropong.
Lalu sepasang mata Sang Budha tertumbuk pada seorang lelaki bernama Kandata yang tengah berada di dasar neraka bersama para pendosa lainnya. Kandata semasa hidupnya adalah seorang perampok kelas berat yang telah banyak berbuat kejahatan; membunuh, membakar rumah-rumah dan hanya memiliki sebiji saja perbuatan baik. Suatu kali saat dia berjalan di tengah hutan belantara dilihatnya seekor laba-laba sedang merayap di tepi jalan. Dengan cepat ia mengangkat kakinya bermaksud hendak menginjak makhluk tak berdaya itu sampai lumat, namun tiba-tiba ia berpikir, ” Ah, tidak, tidak. Sekecil ini pun dia memiliki nyawa. Alangkah memalukannya bila aku membunuhnya tanpa alasan,” dan dia pun membiarkan laba-laba itu tetap hidup.
Ketika memandang ke neraka, Sang Budha teringat bagaimana Kandata telah menyelamatkan nyawa seekor laba-laba. Dan sebagai balasan atas perbuatan baiknya itu, dia ingin membantunya keluar dari neraka. Untunglah, saat Sang Budha menatap sekelilingnya, tampak seekor laba-laba surga sedang membuat sebuah sarang indah keperak-perakan yang terbentang di antara dedaunan bunga teratai.
Sang Budha dengan tenang mengambil seutas jaring laba-laba dengan tangannya. Dijatuhkannya benang tipis itu ke dasar neraka yang terhampar di antara bunga-bunga teratai yang berwarna seputih mutiara.
Kandata tengah terpuruk di dasar neraka bersama para pendosa lainnya.
Di sana gelap gulita menyelimuti sekeliling. Kalau pun ada yang berkilau-kilau dalam kegelapan, kilau itu berasal dari kemilau puncak Gunung Jarum yang menakutkan. Kesunyian mencekam di mana-mana. Satu-satunya yang terdengar hanyalah rintihan samar para pendosa. Mereka telah mengalami siksaan hebat di neraka sehingga tak mampu lagi menjerit dengan suara nyaring. Perampok ulung itu, Kandata, terbenam dalam genangan darah, tak bisa berbuat apa-apa selain berjuang agar tak tenggelam di kolam itu seperti seekor kodok sekarat.
Namun, saatnya telah tiba. Hari ini, ketika Kandata mengangkat kepalanya secara kebetulan dan menatap langit di atas Kolam Darah, ia melihat seutas jaring laba-laba berwarna keperakan menjulur ke arahnya dari arah surga yang tinggi, berkilat-kilat dalam kegelapan yang sepi dan sunyi, seolah-olah menakut-nakuti mata manusia.
Saat dia melihat benda itu, Kandata bertepuk kegirangan. Jika dia bisa bergantung pada jaring itu dan memanjat setinggi mungkin, maka dia akan bisa membebaskan diri dari neraka. Dan jika semuanya berjalan lancar, dia bahkan bisa mencapai surga. Itu berarti dia akan terbebas dari Gunung Jarum dan Kolam Darah.
Secepat pikiran itu melintas di benaknya, diraihnya jaring itu dan digenggamnya erat-erat dengan kedua tangannya. Ia mulai memanjat dengan segenap kemampuannya. Bagi seorang mantan perampok ulung, pekerjaan semacam itu bukanlah hal asing baginya.
Namun, tak seorang pun tahu berapa jauh jarak antara neraka dan surga. Walaupun dia telah berusaha sekuat tenaga, tidak mudah baginya untuk meloloskan diri. Setelah memanjat selama beberapa waktu akhirnya dia merasa kelelahan dan tak mampu beranjak lebih tinggi lagi, biar hanya sesenti sekalipun.
Dia berhenti memanjat dan beristirahat, bergantung pada jaring itu seraya memandang jauh ke bawah. Setelah memanjat setinggi itu Kolam Darah tampak tersembunyi di balik kegelapan dan Gunung Jarum hanya berpendar samar di bawahnya. Jika dia bisa memanjat lebih tinggi lagi, dia pasti akan terbebas dari neraka.
Dengan tangan tergantung pada jaring laba-laba, Kandata tertawa dan berteriak nyaring untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lamanya dia terpuruk di tempat itu. ” Aku berhasil!” pekiknya.
Namun, saat tiba-tiba dia memandang ke bawah jaring itu dilihatnya para pendosa lainnya berduyun-duyun memanjat penuh semangat mengikuti jejaknya, naik dan terus naik, bagaikan upacara para semut. Saat melihat hal itu, Kandata terbelalak sejenak dengan mulut ternganga.
Bagaimana mungkin seutas jaring laba-laba yang tipis dapat menahan beban seberat itu, sementara untuk menahan beban tubuhnya sendiri pun benda itu nyaris putus? Jika jaring itu sampai putus, maka dia akan terjatuh kembali ke dasar neraka setelah berusaha keras hingga sejauh itu.
Namun, sementara itu, ratusan bahkan ribuan pendosa merayap naik dari kegelapan Kolam Darah dan memanjat sekuat tenaga. Jika dia tak melakukan sesuatu dengan segera, jaring itu pasti akan putus, pikirnya. Maka, Kandata menghardik mereka dengan suara lantang.
” Hei, kalian para pendosa! Jaring laba-laba ini milikku. Siapa yang memberi izin kalian naik? Turun! Ayo, turun!”
Tepat pada saat itu, seutas jaring tipis itu, yang sejauh ini tak menunjukkan tanda-tanda akan putus, tiba-tiba terputus tepat di titik Kandata tengah bergantung. Tanpa sempat menjerit, dia meluncur deras ke arah kegelapan, terus melayang, berputar dan berputar kencang.
Setelah semuanya usai, hanya sisa jaring laba-laba surga itu saja yang tampak bergoyang-goyang, berkilat-kilat, tergantung di langit tak berawan.
Berdiri di tepi kolam teratai di taman surga, Sang Budha menatap dari dekat semua kejadian tadi. Saat Kandata terpelanting bagaikan sebongkah batu ke dasar Kolam Darah, dia meninggalkan tempat itu dan berjalan perlahan dengan mimik sedih.
Tak diragukan lagi, hati dingin Kandata yang hanya ingin cari selamat sendiri dan kejatuhan orang itu kembali ke neraka, menyedihkan hati Sang Budha. Namun, bunga-bunga teratai di kolam surga tak ambil peduli pada semua yang baru saja terjadi. Bunga-bunga putih bak mutiara itu bergoyang-goyang di dekat kaki Sang Budha. Saat mereka bergoyang perlahan, dari putik bunga berwarna keemasan di tengah-tengahnya, meruap aroma wangi memenuhi udara.
Saat itu hari telah menjelang siang di surga
"Setiap orang memiliki kesempatan untuk keluar dari kegelapan dengan memanjat benang laba-laba yang menuju ke permukaan. Namun saat mereka sampai diatasnya, bersiaplah menjadi makanan dari laba-laba tersebut. mereka dalam kegelapan mempunyai 2 pilihan : hidup selamanya dalam kegelapan atau keluar dari kegelapan menuju kematian"
0 komentar:
Posting Komentar